Pada bulan Februari ini,terdapat perbedaan dari seminar bulanan sebelumnya yang biasa dilaksanakan pada hari Jumat ekarang menjadi hari Kamis. Seminar bulanan seperti ini juga menjadi follow up untuk mengandeng para insan yang peduli dengan ekonomi kerakyatan untuk mensukseskan Gerakan Revolusi Moral Satu desa Satu koperasi Selain itu tidak ada yang berubah dimana DEK terus menampilkan topik seminar yang berkaitan dengan kemandirian dan pemerataan kesejahteraan rakyat kecil. tema dari seminar bulan Februari ini adalah bagaimana “Membangun Indonesia dari Pinggiran” yang dibawakan oleh Prof. Mudrajad Kuncoro guru besar Bidang Ekonomi Pembangunan FEB UGM.
Pembicara menyampaikan bahwa problem terbesar kalau berbicara mengenai pinggiran adalah adanya pergeseran paradigma. Dari pusat menuju pinggiran. Selanjutnya pembicara menyampaikan alasan perlunya membangun Indonesia dari pinggiran adalah sebagai berikut: 1. Peranan Jawa masih sangat dominan dalam menyumbang ekonomi Indonesia, sekitar 58%. 2. Pinggiran masih kurang memberikan sumbangsih dalam perekonomi Dalam RPJMN, Jokowi menggunakan ideologi Trisakti Bung Karno, yaitu berdaulat secara politik, berkepribadian dalam kebudayaan, dan berdikari secara ekonomi. Sementara dalam bidang ekonomi wilayah timur masih banyak yang masuk daftar daerah tertinggal. Sekitar 27,23% desa masih tertinggal.
Selanjutnya membahas otonomi. Prof. Mudajad menyampaikan bahwa desentralisasi di Indonesia itu asimetris karena mengenal ekonomi khusus. Terdapat beberapa ketimpangan. Yang pertama adalah ketimpangan antar golongan pendapatan. Tantangan ketimpangan antar golongan pendapatan dan trickle up effect menjadi dinamika di Indonesia. Kue nasional masih dinikmati golongan menengah ke atas sebesar 40% dan golongan atas 20%. Di sisi lain sepuluh besar orang terkaya di Indonesia adalah orang-orang dengan tunggakan pajak terbesar. Ketaatan mereka membayar pajak dipertanyakan. Selanjutnya, ketimpangan juga terjadi antar daerah. Di Papua dan DIY ketimpangan menjadi dua teratas di Indonesia. Di Papua, daerah dengan ekonomi terbesar adalah Mimika sebesar 51,37%. Hal ini karena ada Freeport. Lokalisasi ekonomi menciptakan daerah kantong ekonomi yang akhirnya menimbulkan ketimpangan dengan daerah lainnya. Sementara DIY, perekonomian tertinggi ditopang oleh Sleman sebesar 30,41%. Padahal Kulonprogo sumbangsih ekonominya hanya 8,63% dan Gunung Kidul 15,59%. Kalau kita mau memfokuskan DIY, mengurangi ketimpangan kita harus memfokuskan ke Kulonprogo dan Gunung Kidul.
Zaman SBY pembangunan dimulai dengan membangun koridor ekonomi (membangun keterkaitan), melalui MP3EI. Sementara pada masa Jokowi kini desa menjadi subyek pembangunan, bukan hanya menjadi obyek lagi. Sehingga pembangunan dimulai dari daerah, terutama desa. Namun sayangnya masih lemah dalam pelaksanaannya. Untuk membangun Indonesia dari pinggiran kita harus melakukan terobosan, yaitu kembali ke desa. Dari nation menuju region menuju village. Salah satu yang menjadi kendala pengembangan daerah pinggiran adalah APBD daerah cenderung terbatas dan mayoritas habis untuk belanja aparatur, bukan infrastruktur.
Salah satu hal yang penting dalam pembangunan adalah merealisasikannya. Perlu untuk melakukan gerakan untuk mengimplementasikan kosep-konsep yang sudah ada. Saluran yang bisa digunakan adalah dengan mengoptimalkan peran musyawarah desa. Melalui musyawarah desa, diharapkan rakyat mendapatkan sosialisasi dan pemahaman untuk merealisasikan wacana yang ditetapkan pemerintah. Rencana aksi yang bisa digunakan adalah dengan catur strategi, yaitu, mengatasi masalah dasar, sektoral, spasial, dan kelembagaan dan reformasi birokrasi. Dalam kelembagaan dan reformasi perlu mengubah mindset menjadi pelayan dan stimulator masyarakat, bukan predator.
Indonesia mempunyai keunikan, dimana teori barat manapun tidak berlaku. Dari data yang ada semakin tinggi pertumbuhan, ketimpangan juga semakin tinggi. Upaya untuk mengurangi ketimpangan adalah dengan meningkatkan peran koperasi dan umkm. Pemerintah di sini perlu mempermudah perijinan dengan catatan tetap akuntabel dan transparan karena mengurus perijinan di Indonesia terlalu banyak prosedur.
Prof Mudrajad mengusulkan bahwa pusat dan daerah perlu menetapkan inclusive growth untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dengan pendapatan rendah.