Artikel ini merupakan sebuah rangkuman dari buku “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945?” yang ditujukan untuk memberikan gambaran secara ringkas mengenai isi dari buku tersebut. Pembaca disarankan membaca buku lebih lanjut untuk mendapatkan pemaparan yang lebih detail.
- Membangun Masyarakat Pancasila: Sistem Politik dalam UUD Amandemen Bertentangan dengan Pancasila. (Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo)
73 tahun sejak Indonesia merdeka, masyarakat Pancasila -masyarakat yang menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan hidup- belum terwujud di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diperlukan niat dan tekad yang kuat untuk menjadikan masyarakat Pancasila sebagai suatu kenyataan.
Masyarakat Pancasila berbeda dari masyarakat Indonesia pada masa penjajahan dimana pada masa itu nilai-nilai yang berkembang adalah individualisme dan liberalisme. Nilai tersebut bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dimana dalam Pancasila negara diartikan sebagai tempat kehidupan yang menjadi kumpulan manusia yang saling membutuhkan satu dengan lainnya. Untuk dapat menghasilkan yang terbaik, maka sikap kebersamaan antar individu menjadi penting untuk dimiliki. Kebersamaan ini berarti menyadari adanya perbedaan, namun di sisi lain mampu membangun sinergi antar individu. Sinergi inilah yang membawa hasil yang lebih baik daripada usaha perseorangan. Sehingga masyarakat Pancasila seharusnya dapat memiliki hasil yang lebih baik daripada masyarakat penjajahan dimana sifat individualisme harus ditanggalkan dan meningkatkan kebersamaan. Masyarakat Pancasila membangun kesejahteraan bagi warganya secara adil merata.
Sebagai salah satu negara dengan kekayaan tertinggi di dunia (GDP Indonesia sebesar USD 1,015T pada 2018), Indonesia nyatanya masih menghadapi permasalahan kemiskinana dimana 9.82% atau sekitar 25.95juta rakyatnya masih tergolong miskin. Selain itu kesenjangan juga masih berada di angka 0.389 pada bulan Maret 2018. Karena kesejahteraan belum tercapai, maka membangun masyarakat Pancasila harus menjadikan prioritas pada masalah kesejahteraan ini. Luasnya tanah daratan Indonesia harus dapat dijadikan tanah pertanian yang menghasilkan produk beraneka ragam sehingga swasembada pangan dapat diwujudkan dan dapat ditiadakan impor hasil pertanian dan justru mengekspor hasil pertanian. Selain itu, dengan potensi maritim yang ada, Indonesia seharusnya dapat menjadi penghasil terbesar produk laut diantaranya melalui usaha tangkap ikan dan budidayanya. Peningkatan penghasilan dari sektor maritim dan agraris ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. ditambah dengan diperluasnya kesempatan kerja di bidang lainnya seperti manufaktur dan pertambangan, pariwisata, infrastruktur, dan penguatan BUMN serta UMKM. Tentunya keberhasilan tersebut sangat bergantung dengan kualitas sumber daya manusianya. Sehingga pembentukan mental, karakter dan perkembangan sektor pendidikan sangatlah penting.
Pendidikan harus dimulai dari lingkup terkecil (keluarga) hingga lingkup paling luas melalui lembaga pendidikan formal. Selain itu, sinergitas antara Lembaga pendidikan, orang tua, pemerintah, dan ormas juga penting bagi peningkatan sumber daya manusia. Karena pendidikan adalah kunci masa depan bangsa dalam usaha mencapai kemajuan, keadilan, kesejahteraan dalam kehidupan rakyat banyak dan masa depan masyarakat Pancasila.
Masyarakat Pancasila harus memiliki sistem politik yang sesuai seperti halnya yang telah tercantum pada UUD 1945 yang asli, sebelum adanya amandemen, dimana sistem politik yang ada di UUD 1945 adalah yang sesuai dengan Pancasila yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga tertinggi Negara. MPR terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan. MPR memilih presiden RI dan wakil presiden RI sekali dalam lima tahun. Anggota DPR dan DPR Daerah dipilih rakyat dalam pemilihan umum yang berlangsung sekali dalam lima tahun. Kepala daerah tingkat I, yaitu gubernur, dipilih oleh DPR-Daerahnya dan kemudian disahkan Presiden RI. Kepala daerah tingkat II, yaitu bupati dan walikota, dipilih oleh DPRD-nya dan kemudaian disahkan Menteri dalam negeri.
MPR menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan memberi mandat presiden RI untuk merealisasikannya. Presiden RI menetapkan cabinet pemerintah dengan Menteri-menteri sebagai anggota. Dibawah MPR terdapat presiden, DPR, mahkamah agung, dan DPA. Dengan sistem politik demikian, masyarakat Pancasila dapat menjalankan demokrasi atau kedaulatan rakyat disertai stabilitas politik. Sementara sistem politik berdasar UUD 1945 hasil amandemen bertentangan dengan Pancasila. Sistem politik yang baik akan menghasilkan kepemimpinan politik yang bermutu, sehingga dapat memimpin negara mencapai tujuan nasional secara arif dan dinamis.
- Kembali ke UUD 1945; Solusi Mencegah Konflik Horizontal dan Vertikal (Dr. Soetanto Soepiadhy SH, MH)
Konflik elite terjadi dalam berbagai tingkat, baik secara vertical, horizontal, maupun keduanya. Konflik elite ini terkadang penyelesaiannya justru berlarut, hal ini akan mengarahkan pada instabilitas politik, rentan terhadap kerusuhan, dan akhirnya membawa negara pada kondisi krisis berkepanjangan.
Sesungguhnya Pancasila adalah solusi dari konflik tersebut, sayangnya, saat ini Pancasila hanya menjadi nilai filosofis, belum diimplementasikan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut, amandemen UUD 1945 dinilai hanya sebatas memenuhi tuntutan reformasi. Amandemen UUD 1945 dinilai telah menyimpang ketatanegaraan, yang menyebabkan kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat, sehingga terjadi penyimpangan terhadap cita-cita bangsa Indonesia, yang tertuang pada pembukaan UUD 1945.
UUD yang baik selalu menentukan sendiri prosedur perubahan atas dirinya sendiri, sedang perubahan yang terjadi di luar itu tidak dapat dibenarkan secara hokum. Inilah prinsip negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) yang dicita-citakan oleh para pendiri Republik Indonesia. Di luar itu bukan merupakan rechtsstaat melainkan machtsstaat yang hanya menjadikan pertimbangan “revolusi politik” sebagai landasan pembenar dan bersifat post factum terhadap perubahan dan pemberlakuan konstitusi.
Tercatat telah 4 kali UUD 1945 diamandemen. Namun dalam pelaksanaannya menimbulkan kontroversi dalam masyarakat disebabkan hasil perubahan tersebut jauh dari ideal dan terkesan parsialistik, sehingga sistem yang dibagun oleh UUD 1945 sebagai suatu konstitusi menjadi kabur. Substansi atau materi muatannya pun banyak tumpeng tindih antara satu pasal dengan lainnya, sehingga tujuan penyempurnaan UUD 1945 melalui amandemen justru yang terjadi adalah sebaliknya. Terdapat beberapa alas an mengapa amandemen tersebut dipandang tidak sempurna, yaitu:
- Secara procedural
Pertama, Amandemen dilakukan oleh Lembaga yang secara yuridis konstitusional berwenang, namun mereka bukan ahli di bidang konstitusi. Seharusnya diserahkan pada Komisi Konstitusi yang ditunjuk MPR melalui Tap MPR dengan anggota non paratisan, tetapi ahli di bidangnya masing-masing, dengan hasil diserahkan pada MPR dengan catatan MPR dapat menerima maupun menolak.
Kedua, perubahan yang dilakukan sarat dengan permainan politik dan kepentingan politik sesaat, sehingga tidak mencerminkan aspirasi masyarakat. Ketiga, perubahannya dikerjakan secara tergesa-gesa dan kurang serius, serta kurang melibarkan partisipasi masyarakat di dalamnya, sehingga terkesan eliteis.
- Secara Substansial
Hasil perubahan UUD 1945 tidak didasari oleh kajian akademis yang komprehensif dan sejalan dengan pemikiran the Founding Fathers and Mothers bangsa ini, sehingga dalam pelaksanaannya telah menimbulkan berbagai persoalan mendasar, diantaranya:
Pertama, ketidakjelasan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dimana MPR dalam amandemen berada sejajar dengan presiden dan DPR. Kedua, sistem pemerintahan presidensiil yang dimaksudkan dalam perubahaan UUD 1945 belum sesuai dengan konfigurasi politik Indonesia, sehingga muncul ketidakstabilan penyelenggaran pemerintahan, baik pada tataran kekuasaan eksekutif maupun legislative. Ketiga, ketidakjelasan sistem perwakilan yang digunakan, dimana kelembagaan DPD yang tidak fungsional, serta ketidakserasian hubungan pemerintah pusat dengan daerah.
- Kajian Konstitusi
Politik hukum makro
Politik hukum bersifat makro dirumuskan dalam suatu norma dasar, yang dalam susunan peraturan perundang-undangan ditempatkan sebagai peraturan yang tertinggi. Agar UUD 1945 nantinya akan menjadi living constitution maka konstitusi harus selalu hidup dalam masyarakat, yakni:
- Makna yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 dengan pengejawantahan yang seharusnya (das sollen) dalam konstitusi.
- Pelaksanaan kedaulatan rakyat yang sejalan dengan pemikiran The Founding Fathers and Mothers.
- Sistem pemerintahan yang sesuai dengan konfigurasi politik Indonesia
- Sistem perwakilan yang mampu mencerminkan aspirasi rakyat.
- Sistem peradilan di Indonesia
Politik Hukum Messo
Tujuan makro dilaksanakan dalam politik hukum messo melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Dasar dari amandemen UUD 1945 adalah pasal 5 Tap MPR No I/MPR/2003. Sejalan dengan perubahan itu, maka perubahan UUD 1945 tersebut, secara procedural dan secara substansial berakibat pada ketidaksesuaian dengan perkembangan ketatanegaraan dewasa ini. Secara konstitusional, diperlukan pencabutan pasal 5 Tap MPR No. I/MPR/2003 dan dengan dicabutnya ketentuan tersebut, secara mutatis mutandis diberlakukan secara sah UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945.
Politik Hukum Mikro
Politik hukum mikro dilaksanakan melalui peraturan yang lebih rendah lagi tingkatnya. Dengan demikian, tercipta perundang undangan yang taat asas, yaitu yang dibenarkan pada tataran hukum makro yaitu UUD 1945 18 Agustus 1945.
Kehendak Rakyat
Dalam konteks ini, reformasi konstitusi (constitutional reform) secara konstitusional melalui inter-legal system maupun ekstrakonstitusional melalui beyond-legal system perlu dikemukakan. Perubahan UUD oleh Jellinek dibedakan dalam dua hal, yaitu verfassungsanderung dan versfassungswandlung. Verfassungsanderung yakni perubahan UUD dilakukan dengan sengaja sesuai dengan apa yang ditentukan oleh UUD yang bersangkutan. Sementara verfassungswandlungyaitu perubahan UUD dengan cara yang tidak disebutkan dalam UUD tersebut, tetapi melalui cara istimewa seperti revolusi, convention, dan sebagainya. Hal inilah yang disebut dengan perubahan konstitusi secara ekstrakonstitusional. Jika perubahan dilakukan secara verfassungsanderunglangkah yang ditempuh yaitu:
- Dimana hanya beberapa bagian naskah konstitusi yang diganti (perubahan menyangkut hal-hal tertentu).
- Dimana penambahan naskah yang dilekatkan pada naskah asli. Adendum tidak merubah naskah asli sehingga dianggap tetap berlaku.
- Dimana perubahan yang terjadi bersifat mendasar. Naskah-naskah lama diganti dengan naskah-naskah baru, sehingga pada gilirannya melahirkan sebuah konstitusi baru.
Sedangkan perubahan melalui verfassungswandlung oleh C. F. Strong dikemukakan dalam empat klasifikasi perubahan, yaitu by the ordinary legislature, but under certain restriction; by the people through referendum; by a majority of all units of federal state; dan by special convention. K. C. Wheare menyebut konvensi ketatanegaraan sebagai norma konstitusi non legal atau ekstrakonstitusional. Wheare juga menyebut bahwa konvensi ketatanegaraan terbentuk melalui agreement di antara rakyat. Mereka sepakat melaksanakan sesuatu dengan cara-cara tertentu, dan sekaligus menetapkan ketentuan mengenai cara-cara pelaksanaanya. Ketentuan ini langsung mengikat dan mejadi konvensi ketatanegaraan tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu seperti konvensi ketatanegaraan yang tumbuh melalui kebiasaan. Hal yang dikatakan Wheare merujuk pada “Kehendak Rakyat” atau the will of the people. Sejalan dengan hal itu, pandangan populis demokrasi yang dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau -seorang filsuf Prancis- yang menggunakan konsep kontrak sosial. Dalam pandangan ini, negara diberikan kuasa untuk mengontrol rakyat setelah diberi legitimasi oleh rakyat. Karena itu, kehendak rakyat kadang disejajarkan dengan majority rule. Sementara pada sisi liberalis, demokrasi dianggap tidak merepresentasikan apa apa terkait kehendak rakyat. Dimana funsi pemilu hanya terbatas pada control terhadap pemerintah, tidak lebih.
Terhadap gagasan untuk melakukan perubahan dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 tergolong sulit, maka untuk kembali ke UUD 1945 yang asli hanya mungkin dilakukan melalui konvensi ketatanegaraan melalui agreement, sebagaimana yang diungkapan Wheare sebagai Kehendak Rakyat. Itulah Salus Populi Suprema Lex (suara rakyat sebagai hukum yang tertinggi).
- Konstitusi Tanpa Pondasi Kesejahteraan Rakyat (Sunario)
UUD 1945 termasuk salah satu konstitusi progresif di dunia. Di dalamnya terdapat semangat anti-kolonialisme dan pro-kesejahteraan sosial. Namun pasca reformasi, banyak yang berubah sehingga UUD 1945 tidak asli lagi. Sayangnya amandemen tersebut yang terjadi bukan proses melengkapi UUD 1945 namun upaya mengotak-atik isinya dan membuang fondasi yang berbau anti kolonialisme dan pro kesejahteraan rakyat. Hasilnya, setelah amandemen justru ditemukan berbagai kolonialisme lama yang diperangi oleh para founding father dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, dan budaya.
Upaya kembali ke UUD 1945 adalah kembali kepada semangat dan jiwa revolusi Agustus. “UUD 1945 adalah anak kandung atau saudara kembar dari proklamasi 17 Agustus 1945” kata Soekarno. Nyaris seluruh pergulatan gagasan dan cita-cita perjuangan bangsa kita terangkum dalam semangat revolusi Agustus, dan UUD 1945 adalah peta yang seharusnya menjaga kita dalam perjalanan Panjang mengarungi cita-cita menuju masyarakat yang adil makmur.
- Pancasila yang Hilang (Samuel Lengkey)
Nilai-nilai esensial dalam Pancasila adalah sama sama dengan harta kekayaan bangsa Indonesia yang lama tersimpan dalam peradaban budaya Indonesia. Nilai-nilai dalam masyarakat menjadi budaya dan karakter bagi setiap proses pembentukan pemerintahan hingga Indonesia lahir. Lahirnya Pancasila berdasarkan proses sejarah yang sudah terkandung sejak lama hidup dalam Rahim masyarakat Indonesia. Peradaban budaya inilah yang melahirkan berbagai pemikiran untuk membangun kesadaran Bersama membentuk sisitim pemikiran yang dapat mempersatukan semua masyarakat di Kawasan nusantara. Peradaban pemikiran yang bersumber dari warisan budaya perilaku masyarakat masa lalu, menjadi sebuah ideologi pemersatu bangsa Indonesia.
Kehidupan masyarakat di nusantara sejak dahulu kala penuh dengan toleransi, saling menghargai, gotong royong, dan tolong menolong dalam kehidupan. Budaya dan karakter masyarakat menjadi bahan utama dalam perumusan sila-sila Pancasila. Masayrakat Indonesia telah lama mengenal demokrasi, dimana kehiduoan masyarakat berjalan melalui mekanisme dan sistem demokrasi kultural yang terus menghidupi tatanan rakyat. Kedudukan status kekeluargaan yang berkembang di masyarakat dilandasi oleh pemahaman “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” yang berarti tidak ada yang lebih daripada orang lain karna pada prinsipnya setiap orang adalah sama. Asas kekeluargaan yang berkembang di masyarakat Indonesia diartikan sebagai mengakui dan menerima setiap orang dalam semangat persaudaraan, dan orang yang diterima dalam semangat persaudaraan akan menjalani kehidupan sosial secara Bersama dan bertanggung jawab. Disamping itu ada prinsip kebebasan dengan tetap menjaga nilai-nilai etis yang telah lama dipatuhi dalam masyarakat. Pun dalam asas kekeluargaan itu, sistem kekuasaan dilaksanakan dengan semangat kekeluargaan. Pemimpin dipilih berdasarkan musyawarah dan menyelesaikan masalah tanpa berpihak dari orang-orang yang berkonflik. Penyelesaiannya pun melalui semangat kekeluargaan. Kekuasaan yang dimiliki pemimpin diberikan masyarakat melalui proses mufakat. Mufakat sendiri adalah akhir dari perbedaan dan pertentangan dalam masyarakat.
Kepemimpinan yang demikian saat itu mampu melindungi masyarakat dari tindakan jahat, perilaku jahat dan ancaman dari luar. Pemimpin yang mampu menjaga struktur kehidupan masyarakat yang harmonis. Pemimpin yang mampu mempersatukan rakyat terlepas dari perbedaan yang ada di masyarakat.
Pancasila lahir dariproses filosofis bangsa Indonesia. Tatanan kehidupan masyarakat membangun nilai-nilai kehidupan bangsa. Niali ini menjadi bangunan moral bangsa Indonesia, menjadi tatanan hukum yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat dan dipatuhi Bersama. Moralitas bangsa terbangun dari sikap dan perilaku masyarakat dan pemimpinnya yang saling mendukung, saling menghargai dan saling menghormati. Masyarakat mengangkat pemimpin karena moral yang diangkat sesuai dengan moral dan etika dalam masyarakat. Pemimpin juga diberi kekuasaan dari rakyat untuk menegakkan kebenaran, kebaikan, keamanan dan kesejahteraan.
- Amandemen Konstitusi Berisiko Indonesia Pecah (Prof. Dr. Kaelan MS)
Prof. Kaelan mengatakan hasil amandemen UUD 1945 yang ada saat ini tidak sesuai dengan dengan filosofi Pancasila. Menurutnya, amandemen yang terjadi di banyak negara hanya mengubah sebagian konstitusi, namun masih tetap mempertahankan naskah aslinya. Namun, proses amandemen UUD 1945 justru sebaliknya. Beliau menyarankan untuk melakukan amandemen UUD 1945 dengan perbaikan melalui addendum karena jika tanpa addendum dan membuat yang baru maka berisiko negara Indonesia dapat terpecah-pecah.