[:IN]
Mengawali tahun 2016 ini, DEK FEB UGM mengundang Bapak Aribowo Suprajitno Adhi sebagai pembicara dalam Seminar Bulanan Ekonomi Kerakyatan Bulan Januari 2016 ini. Bapak Suprajitno Adi adalah praktisi dan konsultan Saemaul Undong. Saemaul Undong ini adalah sejenis badan usaha Milik rakyat (BUMR) di Korea Selatan. Seminar diawali dengan diskusi kritis tentang ekonomi nasional yang saat ini 80-90% dikuasai oleh asing. Revenue sales masuk pada kantong-kantong pemasukkan luar. Oleh karena itu, kita perlu merebut kembali kedaulatan bangsa ini. Seperti kata Bung Karno, bahwa negara ini didirikan untuk semua, bukan untuk segelintir orang atau golongan.
Permasalahan bangsa saat ini yang paling miris adalah permasalahan kesenjangan. Dalam sepuluh tahun terakhir kesenjangan melebar sebesar 30%, dari 0,31 ke 0,41. Kesenjangan ini adalah akar perpecahan, akar disintegrasi.Dalam konstitusi Pasal 33 ayat 4 amandemen terbaru disebutkan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, mandiri, serta dapat menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional. Namun kenyataanya terdapat pengingkaran dari pasal 33 tersebut.
Daripada menunggu dan mengandalkan pemerintah yang tidak pasti, akan lebih baik apabila kita mengkoordinasikan segenap potensi yang ada untuk mewujudkan Badan Usaha Milik Rakyat.BUMR sebagai korporasi hanya dapat tumbuh dan berkembang kalau dapat beradaptasi terhadap hukum bisnis yang fundamental. Business starts from market, alias tidak ada pasar tidak ada bisnis. Oleh karena itu maka pendekatan Model BUMR diawali dengan pengelolaan pasar baik nasional maupun internasional ataupun perdagangan sebagai usaha besar mengelola pasar yang dinamis. Industri dan atau usaha perdagangan besarlah yang menentukan jumlah dan kualitas darisupplybahan baku yang bersumber dari produsen (kelompok tani, nelayan, pengrajin, dan lain-lain), yang dikoordinasikan dalam struktur dan sistem manajemen BUMR.
Model ini melahirkan mutual benefits antara Industry& Trade dengan BUMR yang mewakili UMKM karena,
- Industri mendapat jaminan supply bahan baku sesuai jumlah dan kualitas yang dibutuhkan;
- BUMR mendapat jaminan pasar dengan harga yang terjadi secara fair sesuai dengan perkembangan pasar;
- Industry/Trade dan BUMR bersinergi untuk menciptakan nilai tambah melalui tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi, sebagai basis daya saing nasional, khususnya dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Praktek monopolistik dari industri sebagai pembeli tunggal dari ratusan bahkan ribuan usaha mikro dan kecil berakhir dengan hadirnya BUMR yang memiliki daya tawar terhadap industri/pedagang besar. Dengan demikian, monopoly berhadapan dengan monopsony yang secara logika bisnis akan melahirkan harga yang saling menguntungkan melalui musyawarah untuk mufakat. Disinilah kembali konsep usaha bersama dengan asas kekeluargaan sesuai semangat demokrasi ekonomi ala Pancasila.
BUMR yang saham-sahamnya dimiliki oleh kelompok produsen kecil (bisa berbentuk koperasi) memiliki karakteristik korporasi modern dengan posisi dan struktur manajemen yang modern pula. Intinya, produksi dan supply dari kelompok-kelompok usaha kecil (tani, nelayan) tergabung dalam supply chain yang secara ekonomi memiliki skala yang memenuhi kebutuhan industri. Melalui efisiensi, unit cost dapat ditekan untuk keuntungan kelompok usaha kecil.
Inti dari gerakan pengembangan BUMR adalah revolusi mental para pelaku bisnis UMKM dan seluruh pemangku kepentingan. Perubahan mindset atau pola pikir akan mengubah tindakan. Tindakan yang dilakukan secara konsisten terus menerus akan mengubah kebiasaan, dan kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus akan mengubah karakter sebuah komunitas atau suatu bangsa dan menjadi budaya yang akan mengantar kepada perubahan nasib suatu bangsa.
Pada tahun 1970-an di Korea Selatan dimulai sebuah gerakan masyarakat desa baru yang merupakan sebuah gerakan politik (karena didukung pemimpin politik tertinggi, yaitu Presiden) sekaligus gerakan budaya melalui serangkaian perubahan pola piker dan kebiasaan yang tumbuh di masyarakat pedesaan. Gerakan tersebut, di mulai dengan gerakan fisik, termasuk kedisiplinan. militansi, dan juga perubahan fisik lingkungan dengan pembangunan infrastruktur yang masif di pedesaan, yang dilakukan oleh, dari dan untuk masyarakat desa. Gerakan ini disebut sebagai gerakan masyarakat desa “Saemaul Undong*”.
Gerakan inilah yang harus kita terapkan dalam semangat revolusi mental Presiden Jokowi, untuk membangun dari pinggiran. Membangun desa inovasi dengan berbasis pengembangan Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR). Pemerintah harus menjadi pengembang bagi tumbuhnya BUMR melalui berbagai kebijakan dan insentif, seperti halnya ketika jaman Pak Harto, pemerintah mengembangkan BUMS yang dimiliki swasta melalui UU PMDN dan berbagai kebijakan yang mendorong tumbuhnya pengusaha besar yang menjadi konglomerasi. Ketika akhirnya justru konglomerasi itu malah memperlebar kesenjangan dan tidak dapat dikendalikan oleh Pemerintah, dan berakhir di krisis ekonomi 1997, maka Presiden Suharto membentuk kementerian BUMN untuk mengelola dan mengembangkan BUMN agar menjadi pilar dan pendorong perekonomian Indonesia. Saat ini ternyata BUMN sebagian besar malah jadi beban Negara dan terus disuntik Penanaman Modal Negara. Oleh karena itu satu-satunya pilihan logis adalah melalui pengembangan BUMR, yang merupakan korporatisasi koperasi dan UMKM dengan skala ekonomi yang besar sehingga bisa terkelola secara efisien dan berdaya saing secara berkelanjutan.
Gerakan Masyarakat Desa, Satu Desa Satu Korporasi yang menjadi bagian dari sebuah BUMR yang besar akan menjadi pilar dan pendorong ekonomi kerakyatan. Pemerintah harus menyediakan dana untuk tumbuhnya BUMR-BUMR tersebut, melalui capacity and institutional building yang secara serentak dilaksanakan di seluruh kecamatan di Indonesia
[:]